Seperti kebanyakan wanita lainya aku tidak ingin dicap sebagai wanita bawel, apalagi kepada suami. Namun bagaimana aku bisa tahan untuk tidak berpikiran buruk jika setiap hari aku menyaksikan hal yang sama di depanku sendiri.
Lewat tulisan ini aku ingin mengungkapkan semua. Agar setidaknya aku lega. Bukankah wanita butuh pelampiasan atas berjuta perasaanya yang terpendam bukan? Maafkan aku suamiku.
Waktu awal pacaran dulu aku sangat kagum akan keuletan calon suamiku ini. Untuk dapat merebut hatiku ia rela menggunakan berbagai macam cara, dari mulai yang konyol hingga yang cerdas. Namanya pun hingga terkenal di kalangan guru-guru SMA pada waktu itu. Bukan karena prestasi, ketampanan, atau kekayaanya, tapi karena perjuanganya mendapatkan hatiku.
Pernah suatu kali ia merencanakan kejutan untuk ulang tahunku di sekolah, dan itu melibatkan guru-guru dan seabreg teman-temanya. Bukan sekali dua kali ia melakukan hal yang membuatku tidak habis pikir. Sampai-sampai aku sempat trauma ketika melihat dia. Satu pertanyaan besar selalu muncul ketika ia tiba-tiba muncul "apalagi yang akan dia lakukan?"
Mengenang masa itu manis sekali rasanya. Yang awalnya aku tidak tertarik sama sekali denganya, berkat kesungguhan usahanya dan konsistensinya, akhirnya aku luluh dan mempercayakan separuh kehidupanku kepadanya.
Kitapun menikah setelah perjalanan panjang LDR Kudus-Solo karena beda kampus. Dua tahun setelah lulus kuliah kita memutuskan menikah dan sepakat membangung bisnis bersama.
Bisnis yang kami buka sesuai dengan bidang kuliah yang suamiku tekuni yaitu Apotek. Dengan susah payah kami mendirikan Apotek itu hingga aku memutuskan keluar dari pekerjaanku agar aku dapat membantu suami sekaligus menjadi ibu yang baik bagi anaku karena setahun setelah menikah kami langsung dikaruniai seorang anak.
Awal-awal bisnis berjalan kami tidak merasakan hal apa-apa. Kami bahagia dengan usaha kecil yang kami bangun berdua. Apalagi aku tidak terlalu sibuk bekerja di kantor dan dapat mengurus anak dengan lebih baik.
Namun hobi suamiku yang suka dengan game lama-lama mulai menampakan sisi buruknya. Setiap hari kami menjaga toko berdua dan aku mengerti kalau suamiku bermain game di sela-sela kami menjaga toko adalah untuk mengusir kejenuhan. Namun ibarat obat ia akan terus meminta dosis lebih untuk efek yang sama.
Lama kelamaan ia sering begadang hingga larut malam hanya untuk bermain game bersama teman-temanya secara online. Oleh karena kurang tidur pada siang harinya ia nampak ngantuk dan kurang bersemangat dalam bekerja. Bahkan tidak jarang ia tidur siang cukup lama untuk membayar tidurnya itu. Di saat itulah aku menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak sekaligus penjaga Apotek seorang diri.
Lama kelamaan hal itu membuat aku lelah. Lalu aku beranikan dirii untuk komplain dan itu berujung pertengkaran.
Aku menjadi bingung, ingin marah namun tidak berani mengungkapkanya. Aku mencintainya dan masih berharap padanya. Maka aku sangat hati-hati jangan sampai membuatnya marah. Apalagi sekarang kami memiliki tanggungan anak.
Dan sekarang yang aku lakukan adalah bersabar dan menerima keadaan ini walaupun terkadang sangat lelah. Aku terus berharap suatu hari ia berubah dan sedikit lebih peka terhadap situasi dan sedikit mengesampingkan kesenanganya demi keluarga yang dipimpinya.
Comments