Siapa yang tidak ingin rumah tangganya langgeng dan penuh cinta. Semua orang menginginkanya. Tapi terkadang kehidupan menguji seseorang dengan kenyataan yang berbeda.
Kisah ini mungkin banyak
dramatisasi. Tapi saya tidak mungkin punya otak imajiner secanggih itu tanpa
adanya referensi dari kisah nyata yang di alami seseorang.
Saya adalah Bunga yang sudah berumah
tangga hampir 10 tahun dengan mas Kumbang.
Perjalanan rumah tangga kami di
awal-awal perkawinan baik-baik saja. Suami bekerja di kantor dan saya juga bekerja
di kantor dengan perusahaan berbeda.
Singkat cerita, Tuhan menitipkan kehidupan di
rahim saya di tahun pertama dan membuat saya berpikir untuk memutuskan sesuatu.
Saya ingin menjadi ibu yang baik
bagi anak saya. Kalau saya sibuk kerja di kantor, saya takut anak saya akan kurang
perhatian dan pendidikan seperti yang saya harapkan.
Saya mempertimbangkan untuk
keluar dari pekerjaan demi anak dengan memperhitungkan finansial yang harus tetap
aman.
Dari gaji suami, saya pikir bisa
untuk memenuhi kehidupan kami walaupun saya tidak bekerja. Tentu dengan
mengorbankan pemasukan saya yang hilang.
Tapi semua itu saya pikir bisa
ditanggulangi jika saya tetap bisa produktif dari rumah.
Maka saya berencana menggunakan
tabungan dari hasil kerja saya untuk membuat usaha. Itung-itung bisa
membantu suami sekaligus bisa mengurus anak dengan penuh.
Maka dengan memantapkan hati saya
memutuskan keluar dari pekerjaan saya dan mulai menjalankan rencana saya.
….
Singkat cerita, anak kami lahir
dan besar dengan lancar. Puji syukur saya pajatkan pada Yang Maha Kuasa atas
karunia itu.
Bisnis yang saya rencanakan juga
berjalan walaupun penghasilanya tidak sepasti dan tidak sebesar waktu di
kantor. Namun lumayanlah untuk nambah-nambah dikit.
Itu adalah bagian dari
konsekuensi keputusan saya yang sudah saya perkirakan di awal. Bahwa kelak saya harus berhadapan dengan kenyataan bahwa saya sudah tidak lagi bekerja.
Namun ada satu hal yang tidak
terpikirkan oleh saya. Yaitu hadirnya orang ketiga dalam rumah tangga kami.
…..
Saya sepenuhnya mempercayakan
suami saya bekerja di kantor seperti halnya ia percaya sepenuhnya saya menjadi
ibu rumah tangga yang mengurus keperluan rumah tangga.
Saya lupa bahwa di kantor suami
saya sangat mungkin berinteraksi dengan rekan kerjanya yang berbagai macam
watak dan karakter.
Hingga saya sadar ketika ada seorang
perempuan menghampiri saya di sebuah kafe dan mengatakan sesuatu yang tidak
bisa saya lupakan sampai sekarang.
Wanita itu meminta
pertanggungjawaban atas ‘ulah’ suami saya kepadanya.
Betapa hancur hati dan harga diri
saya mendengarnya.
Bagaimana mungkin saya yang istri
sah dimintai pertanggungjawaban dari wanita lain yang entah darimana dan bagaimana, atas ulah
suami saya.
Bukankah seharusnya saya yang
marah dan menuntut sesuatu?
.....
Tidak memakan waktu lama
hubungan kami yang baik-baik saja berubah pertengkaran demi
pertengkaran.
Habis air mata dan energi ini untuk
mengutuk kelakuan suami. Tidak ubahnya kebencian saya terhadap wanita jahat
itu.
Dengan sisa-sisa kesabaran yang
saya kumpulkan, saya berencana mengakhiri rumah tangga itu dengan baik-baik. Berharap
kelak saya mendapat kehidupan yang lebih baik. Atau setidaknya tidak sesakit
ini.
Cerita ini saya ceritakan dengan amarah
tertahan dan perjuangan berdamai dengan kehidupan. Kalaupun akhirnya saya
ceritakan, tujuan saya bukanlah kutukan, minta belas kasihan, atau berharap keadaan bisa berubah.
Saya hanya ingin bermanfaat
dengan memanfaatkan cerita saya.
Siapa tahu di luaran sana seseorang bisa mengambil pelajaran dari kisah ini. Bukan untuk mencurigai suami setiap
waktu. Tapi untuk menyadari bahwa potensi manusia itu bisa baik dan bisa buruk. Dinamis.
Termasuk saya pribadi yang mungkin
bersalah sehingga harus mengalami hal ini.
Maka mendekat kepada Tuhan adalah
jalan satu-satunya. Hanya DIA yang mampu menjaga orang-orang yang kita cintai. Dan
hanya DIA yang mampu berbuat adil.
Maka mencintailah seseorang
karena TUHAN.
…..
Dengan tidak bermaksud senang,
saya ingin menceritakan kepada anda tanda-tanda keadilan Tuhan. Beberapa waktu
lalu saya mendengar kabar buruk menimpa mereka.
Sebagai manusia biasa saya
diam-diam mensyukuri kejadian itu. Namun akhirnya saya sadar, toh itu tidak
mengubah keadaan.
Maka saya menjadikanya pelajaran
berharga bagi kehidupan saya pribadi. Bahwa manusia, termasuk saya, tidak akan
bisa lolos dari keadilan Tuhan. Maka apapun yang sudah mereka lakukan terhadap
saya, saya harus berjuang untuk memaafkanya. Hanya jalan itulah yang bisa
membuat saya mendapat ketenangan sejati.
Dan saya berjanji pada diri
sendiri untuk tidak melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan kepada
saya.
Biarlah saya masih menjanda sampai
saat ini.
Walaupun ingin sekali saya
mendapatkan pendamping baru, tapi saya serahkan kepada Tuhan jalanya. Saya tidak
ingin membuat jalan sendiri yang mungkin saja itu adalah bujukan hawa nafsu
yang mengantarkan pada kesengsaraan kelak.
Comments