Aku
dan Nia pernah menjalin hubungan semasa kuliah setidaknya hingga 5 bulan. Cukup
singkat memang. Namun ternyata itu cukup untuk membuat kami tidak bisa saling
melupakan satu sama lain begitu saja.
Aku
sekarang bekerja di sebuah bank dan kini Nia sudah memiliki anak satu. Kami
memiliki kehidupan masing-masing, hanya saja aku tidak seberuntung Nia yang
sudah menikah.
4
tahun perpisahan dan tanpa ada komunikasi diantara kami, tiba-tiba Nia menelponku
dengan suara terbata-bata dan menanyakan sesuatu yang tidak pernah aku duga
sebelumnya. “Apakah kamu masih mencintaiku?”.“Ya, tentu saja!” itulah kalimat
yang ingin aku katakan padanya. Namun tidak mungkin aku katakan padanya.
Entah
mengapa sejak saat itu komunikasi kami terjalin kembali dengan sangat baik.
Bahkan lebih baik daripada waktu kami pacaran dulu. Nia sering mengajaku
mengingat-ingat setiap detil kejadian yang pernah kami alami berdua. Entah
karena kesendirian yang terlalu lama atau memang hanya Nia yang bisa membuatku
nyaman, aku menjadi semakin kehilangan akal sehat.
Kami
menjalani hubungan yang sangat menjijikan. Bukan berarti sampai berhubungan
badan dan sebagainya. Hanya saja berkata-kata romantis di telpon dan chatting dengan sembunyi-sembunyi adalah
hal yang sangat memalukan di usia kami yang harusnya sudah bisa berpikir dewasa.
Kami
serasa menjadi anak kecil kembali yang tidak mengerti mana baik dan mana buruk.
Kami hanya menuruti apa yang ingin kami lakukan tanpa harus berpikir apakah itu
baik atau buruk.
Hubugan
sembunyi-sembunyi yang kami jalani berjalan cukup lama tanpa seorangpun
mengetahuinya. Termasuk suami Nia yang seolah tidak mau tahu apa yang Nia
lakukan.
Puncak
dari semua drama ini adalah ketika aku tahu bahwa suami Nia yang bekerja
sebagai guru honorer penghasilanya sangat kecil. Bahkan kebutuhan keluarga
masih dibantu oleh orang tua mereka masing-maisng. Nia sering menceritakan hal
ini padaku dan sering membayangkan kalau dulu dia menjadi istriku. Pasti aku
yang jadi karyawan bank akan dapat membahagiakanya.
Aku
pun menjadi iba dan sering diam-diam mentransfer sejumlah uang padanya. Hal
yang entah kenapa terasa ringan karena penghasilanku cukup besar dan aku masih
belum memiliki tanggungan. Hal itu membuat Nia semakin perhatian padaku.
Sampai
suatu ketika ia menanyakan harga menginap di hotel terdekat tempatku bekerja.
Butuh waktu beberapa saat untuku menyadari bahwa itu adalah maksud Nia untuk
menemuiku. Atau bahkan mungkin untuk “membalas budi” padaku. Aku yang tidak ada
pikiran apa-apa mengira bahwa dia sedang mencarikan hotel untuk rekan atau
saudaranya.
Demi
mengetahui maksud itu, hatiku menjadi semakin tidak karuan. Aku senang Nia
ingin menemuiku. Sebagai manusia biasa aku sudah membayangkan apa yang akan
kami lakukan di sana berdua. Sebuah kenikmatan dunia yang akan aku rasakan selagi
masih bujang.
Apalagi
semua keadaan sepertinya mendukung untuk kami berdua bertemu di hotel. Namun
entah kenapa setiap kali membayangkanya hatiku berdebar-debar. Seperti ada yang
salah. Hingga aku menunda untuk memberi jawaban kepada Nia. Walaupun nafsuku
sangat ingin semua ini bisa terjadi, namun apa mau dikata hati nuraniku berkata
lain.
Bayangan
adik-adiku di depan mata. Seketika membayangkan mereka sedang dikhianati
kekasihnya. Ada juga bayangan di masa depan dimana anak-anaku nanti akan
bertanya apakah selingkuh itu baik. Maka apa yang harus aku jawab?
Demi
mendengarkan setiap bisikan kata hati itu, aku terus menunda memberikan
jawaban. Setiap kali Nia menelpon, aku selalu mengalihkan pembicaraannya. Hingga
akhirnya Nia dapat menyimpulkannya sendiri.
Nia
bukanlah wanita murahan. Ia terlahir dari keluarga terhormat. Hanya saja setiap
orang pasti pernah mengalami suatu masa dimana keimananya sedang diuji. Oleh
karena ia dari keluarga terhormat, maka ia tidak pernah merasakan kehidupan
yang sebenarnya. Perhatian dan manjaan dari kedua orang tuanya mengalir begitu
deras sejak kecil. Nia yang menjadi anak perempuan satu-satunya menjadi
prioritas orang tuanya kala itu.
Maka,
dia pasti sangat kaget menghadapi keadaan dunia yang sesungguhnya. Bahwa
kehidupan yang sebenarnya tidak senyaman di rumah yang penuh perlindungan orang
tuanya. Dan bukanya membantu, aku malah hampir saja menjerumuskanya pada lubang
kesengsaraaan yang lebih curam lagi.
Kalau
aku memang mencintainya, harusnya aku dapat memastikan Nia akan hidup pada
jalan yang benar. Bukanya menjadi orang ketiga dalam rumah
tangganya, yang itu akan semakin merusak hidupnya. Membiarkanya berproses
dengan suaminya adalah pilihan yang benar. Toh walaupun penghasilanya kecil,
suaminya sangat bertanggung jawab. Tuhan tidak mungkin menjodohkan orang baik
dengan orang yang jahat.
Sampai
suatu ketika aku bersikap tegas padanya.
Aku
sampaikan padanya bahwa aku sangat sayang padanya. Maka aku tidak akan
mengganggu rumah tangganya demi kebaikanya. Itu adalah bentuk rasa sayangku
padanya. Sudah cukup aku hampir merusak hidupnya kalau saja dia tidak dapat menyesali
tindakanya sendiri.
Aku
sayang kamu Nia, maka cintailah suamimu demi aku.
Comments